Tuesday, February 23, 2021

Sejarah Perkembangan Pemerintahan Daerah di Indonesia dan Konsep Pemerintahan Daerah

 Nama : anggi setiabudy

Nim : h1a117113

Mata kuliah : pemerintah daerah




Sejak awal kemerdekaan sampai sekarang, peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara oleh pemerintahan daerah telah mengalami banyak perubahan. Hal tersebut menunjukkan problematika pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia begitu fluktuatif dan berubah-ubah sesuai dengan kondisi politik yang terjadi. Setidaknya ada 8 tahapan bentuk pemerintahan daerah yang dimana pembagiannya didasarkan pada masa berlakunya Undang-Undang yang mengatur pemerintahan lokal secara umum. Karena pada setiap periode pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang berbeda-beda berdasarkan aturan umum yang ditetapkan melalui undang-undang. Patut juga dicatat bahwa konstitusi yang digunakan juga turut memengaruhi corak dari undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah.


1) Tahun 1945 - 1948 ( Awal Kemerdekaan )

   Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pada awal kemerdekaan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota otonom dan Kabupaten. Pemberian otonomi itu dilakukan dengan membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah adalah Komite Nasional Daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Untuk pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite Nasional Daerah dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Mengingat situasi dan kondisi pada masa itu tidak semua daerah dapat membentuk dan melaksanakan pemerintahan daerah.

2) Tahun 1948 - 1957 ( Berlakunya UUDS 1950 dan Konstitusi RIS )

   Pada periode ini berlaku Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya yang mengatur susunan dan kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. UU ini menganut ekonomi material yakni mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apa saja yang diserahkan kepada masing-masing daerah titik selain itu juga ditetapkannya struktur administratif daerah yaitu ada Daerah Tingkat I ( Provinsi ) , Daerah Tingkat II ( Kabupaten dan Kota Besar ) , dan juga Daerah Tinggat III ( Desa ) . Arah pemerintahannya yaitu sentralisasi. UU ini berlaku melewati 2 pergantian konstitusi yakni Konstitusi RIS (1949 ) dan UUDS (1950 ). Dalam Konstitusi RIS , daerah Indonesia terdiri atas negara-negara (pasal 2 KRIS )/negara federal , hanya berlaku berlaku di Negara bagian republik Indonesia. Dalam UUDS hanya disebutkan seluruh daerah Indonesia.

3) Tahun 1957 - 1965 ( Kembali UUD 1945 )

  Pada masa ini UU sebelumnya digantikan dengan UU No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Daerah. Dimana didalamnya menganut sistem otonomi riil yang artinya urusan rumah tangga daerah secara luas diserahkan kepada daerah titik pemerintah pusat hanya mempunyai wewenang yang ditentukan oleh UU. Maka pada fase ini daerah diberikan hak desentralisasi. Di mana pengaturan pembentukan daerah tidak ditentukan berdasarkan rincian kewenangan , tetapi pembagian urusan antar daerah dan pusat. 
 Selain itu juga dilengkapi oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 , Penetapan Presiden No 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden No 5 Tahun 1960 Tentang DPRD- Gotong Royong dan Sekretaris Daerah mengatur tentang Pemerintahan Daerah yang isinya :
  •  Membagi tiga tingkatan daerah yakni Daerah Tingkat I ( Provinsi ) , Daerah Tingkat II ( Kab/Kota ) , dan Daerah Tingkat III ( Desa ). 
  •  Kepala Daerah Tingkat I dan II sebagai perwakilan Pemerintah Pusat , sehingga tidak bertanggung jawab kepada DPRD.
  •  Kepala Daerah diberi kedudukan sebagai Pejabat Negara .
Penyesuaian pada tahun 1959 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959. Menurut peraturan itu pemerintahan daerah terdiri dari: Eksekutif : Kepala Daerah dengan dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH) . Legislatif :Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

4) Tahun 1965 - 1974 

  Pada fase ini berlaku UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Daerah menggantikan UU sebelumnya. UU ini undang-undang ini menegaskan bahwa wilayah republik Indonesia dibagi kedalam daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri . Dalam fase ini dalam periode ini daerah diberikan otonomi riil dan seluas-luasnya , dan itu artinya meletakkan tanggung jawab teritorial rill seluas-luasnya dalam tangan pemerintah daerah, disamping menjalankan politik dekonsentrasi. Politik Dekonsentrasi yaitu melaksanakan kewenangan pemerintah pusat . Karena tidak semua kewenangan diberikan kepada daerah.
  Kemudian struktur daerahnya ada tiga tingkatan Daerah, yaitu Daerah Tingkat I ( Kotaraya ) , Daerah Tingkat II ( Kab/Kotamadya) , dan Daerah Tingkat III ( Kecamatan/Kota Praja ). 
Untuk mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III maka dikeluarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Indonesia yang dalam artikel ini disingkat menjadi "UU Desapraja".
  Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah-tangga daerahnya. Pemerintahan lokal terdiri dari: Legislatif ( Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ) , Eksekutif
( Kepala Daerah dibantu Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian ).

5) Tahun 1974 - 1999

   Pada fase ini UU yang berlaku adalah UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah . UU ini menyiratkan pola pengaturan yang menyiratkan pola pengaturan yang bersifat menyiratkan pola pengaturan yang bersifat sentralistik di mana pusat sebagai pengendali utama. 
   Menurut UU ini secara umum Indonesia dibagi menjadi satu macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.
  •  Struktur Daerah Otonom ( Desentralisasi ) , yaitu Daerah Tingkat I ( Daerah Khusus Ibu kota/Daerah Istimewa ) dan  Daerah Tingkat II ( Kabupaten / Kotamadya ) 
  •  Daerah Tingkatan Wilayah Administratif ( Dekonsentrasi ) , yaitu Tingkat I ( Provinsi/Ibu kota Negara ), Tingkat II ( Kabupaten/Kotamadya ) , Tingkat IIa ( Kota Administratif ), dan Tingkat III ( Kecamatan ) 
  •  Tugas Pembantuan , artinya ada urusan pemerintah yang tidak dapat dilimpahkan ke daerah ( tanggung jawab pusat ) namun dalam pelaksanaannya diperlukan penunjukan ke daerah.
 Pemerintahan lokal terdiri dari Legislatif ( Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ) dan  Eksekutif ( Kepala Daerah ). Selain itu Pemerintahan Desa diatur tersendiri dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Dalam menjalankan pemerintahan Kepala Desa dibantu oleh Perangkat Desa yang terdiri atas Sekretaris Desa, Kepala-kepala Dusun, dan Kepala-kepala Urusan. Kepala Desa karena jabatannya adalah Ketua LMD. Sekretaris Desa karena jabatannya adalah Sekretaris LMD.

  Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 juga diatur mengenai Kelurahan. Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pemerintah Kelurahan terdiri atas Kepala Kelurahan dan Perangkat Kelurahan yang meliputi Sekretaris Kelurahan, Kepala-kepala Lingkungan, dan Kepala-kepala Urusan.

6) Tahun 1999 - 2004

  Pasca jatuhnya pemerintahan orde baru, daerah menuntut diberikan otonomi yang lebih luas , penerapan sistem federal hingga tuntutan untuk memisahkan diri dari NKRI yaitu provinsi Irian ,Aceh , dan Riau. Maka dibuatlah undang-undang Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah . Selain itu juga ada UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dimana dalam UU No. 22 Tahun 1999 terdapat tiga landasan filosofi , yaitu keanekaragaman dalam kesatuan, demokrasi yang menekankan pentingnya kedaulatan rakyat, dan pemberdayaan masyarakat. Dalam hal prinsip penyelenggaraan pemerintah yang daerah yang dianut ialah pemberian kewenangan yang luas, bertanggungjawab, dan proporsional.
  Pada pelaksanaan UU ini struktur daerah Otonom yaitu Provinsi , Kabupaten dan Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak ada hierarki daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif. Dimana titik berat otonomi diletakkan pada kabupaten atau kota dengan kewenangan yang luas sedangkan provinsi yang mempunyai otonomi terbatas. Pembentukan undang-undang ini masih belum bisa berjalan dengan baik. Dimana kekurangan berada pada manajemen pembagian kewenangan pemerintah dan pembagian sumber keuangan daerah. Pembagian bagi hasilnya masih dikuasai oleh Pemerintah kabupaten kota sedangkan provinsi dan pemerintah pusat hanya mendapatkan sebagian kecil . Pemerintahan lokal terdiri dari Badan Legislatif Daerah ( Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ) dan Badan Eksekutif Daerah
( Pemerintah Daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan Perangkat Daerah ).


Berdasarkan hasil amandemen pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 antara lain dikemukakan Pemerintah daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan daerah Kota berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Secara konsep, pemerintahan daerah disamakan dengan konsep local government, yang pada hakikatnya mengandung tiga pengertian yakni pemerintah daerah, pemerintahan daerah dan wilayah pemerintahan. Dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan, pemerintahan daerah dipengaruhi oleh lingkungan alamiah, lingkungan politik, lingkungan ekonomi, lingkungan sosial dan, lingkungan budaya. Maka dapat di katakan pula bahwa konsep dari Pemerintahan Daerah yaitu dimana di dalamnya melingkupi organisasi/lembaga/institusi, fungsi kegiatan pemerintahan dan daerah pemerintahan. Untuk mamahami secara jelas bagaimana konsep dari Pemerintahan Daerah maka kita harus memahami semua hal tersebut yang berkaitan dengan Pemerintahan Daerah . Penjelasannya yaitu sebagai berikut. 

   Seperti yang sudah disinggung di awal tadi bahwa Pemerintahan Daerah mengandung tiga pengertian. Yaitu Pemerintah lokal pada pengertian pertama menunjuk pada organisasi/badan/lembaga yang berfungsi menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dalam konteks ini, pemerintah lokal atau pemerintah daerah merujuk pada organisasi yang memimpin pelaksanaan kegiatan pemerintahan daerah, dalam artian ini di Indonesia menunjuk pada Kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kedua lembaga ini yang menggerakkan kegiatan pemerintahan daerah sehari-hari. Oleh karena itu, kedua lembaga ini dimaknai dengan Pemerintah daerah (local government atau local authority). 

   Pemerintahan lokal pada pengertian kedua menunjuk pada kegiatan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah melakukan kegiatan-kegiatan pengaturan. Kegiatan ini merupakan fungsi penting yang pada hakikatnya merupakan fungsi untuk pembuatan kebijakan pemerintah daerah yang dijadikan dasar atau arah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hal tersebut sama dengan fungsi pemerintah pusat yang meliputi fungsi legislatif, fungsi eksekutif dan fungsi yudikatif. Pemerintahan daerah (local government) hanya melaksanakan fungsi legislatif dan fungsi eksekutif sedangkan fungsi yudikatif tetap ditangani pemerintah pusat. Fungsi legislatif yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah hakikatnya merupakan fungsi pembuatan kebijakan pemerintahan daerah. Jadi bukan fungsi legislatif seperti halnya fungsi parlemen di mana dalam konteks Indonesia fungsi ini dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan fungsi yudikatif dipegang oleh badan-badan peradilan (Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri dan Pengadilan lainnya) Hoessein berpendapat Istilah legislatif dan eksekutif juga tidak lazim digunakan pada local government. Istilah yang lazim digunakan pada local government adalah fungsi pembuatan kebijakan (policy making function) dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing function). Fungsi pembentukan kebijakan dilakukan oleh pejabat yang dipilih melalui pemilu, sedangkan fungsi pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh pejabat yang diangkat birokrat lokal (Hoessein dalam Hanif, 2007:24). 


EmoticonEmoticon