Pada 1905, Halide Edib, penyair dan aktivis Turki, melahirkan seorang anak bernama Togo. Edib, yang kelak bersama Kemal Pasha mengorganisir aksi pembangkangan sipil di Istanbul melawan pendudukan militer Inggris ketika Turki kalah dalam Perang Dunia I, tak sendirian. Ia hanyalah satu dari sekian banyak orang yang menamai anak mereka dengan nama laksamana Jepang Togo Heihachiro setelah kemenangan Negeri Sakura atas Rusia pada 112 tahun lalu, tepat 28 Mei 1905.
Ketika berita kemenangan Jepang sampai di telinganya, nasionalis Tiongkok Sun Yat-Sen sedang berada di London. Begitu kapalnya transit di Terusan Suez dalam perjalanan pulang ke Tiongkok, para pekerja pelabuhan mengira Sun orang Jepang dan memberinya ucapan selamat.
Di Kairo, bapak ideologis Ikhwanul Muslimin Rashid Rida menulis dengan semangat tentang kemungkinan mengislamkan Jepang dan mengangkat negeri itu menjadi pembebas dari “kaum kafir.” Kabar itu pun sampai di telinga Penyair India Rabindranath Tagore, yang segera merayakannya dengan pawai bersama murid-muridnya di Bengal. Sementara itu pemimpin kulit hitam Amerika W.E.B. Du Bois berbicara tentang bangkitnya “martabat kulit berwarna” seluruh dunia. Di Jawa, para priyayi membentuk organisasi Boedi Oetomo.
Demikian secuil rekaman esais Pankaj Mishra atas peristiwa-peristiwa di seluruh Asia merespons kemenangan Jepang dalam From the Ruins of Empire: The Intellectuals Who Remade Asia (2012). Di mata masyarakat terjajah di Asia, kemenangan Jepang adalah tanda bahwa bangsa kulit putih pun bisa dikalahkan.
Latar Belakang Perang
Pada 6 Februari 1904, Jepang memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Rusia, setelah bertahun-tahun bersaing menguasai Semenanjung Korea dan Manchuria, dua kawasan yang dianggap penting secara ekonomi dan militer. Hari itu juga, armada laut Jepang dipimpin Laksamana Togo Heihachiro berlayar menuju perairan Korea. Tak sampai seminggu, Jepang mendeklarasikan perang terhadap Rusia.
Adu otot Jepang-Rusia tak terjadi dalam semalam. Pada 1885, Rusia, Jerman, Inggris, Perancis, dan Jepang berebut Tiongkok, yang hingga beberapa dasawarsa sampai Partai Komunis berkuasa pada 1949, terus menjadi bulan-bulanan negeri-negeri asing. Jepang adalah satu-satunya negara non-Eropa yang terjun dalam perebutan pengaruh geopolitik, yang bergulir hingga Perang Dunia I (1914) dan II (1938-1945).
Ekspansionisme Jerman merupakan konsekuensi lanjutan dari Restorasi Meiji, yang dilakukan Kaisar Meiji dengan cara mengadopsi praktik-praktik birokrasi dan militer modern negeri-negeri Eropa. Cermin Jepang pada saat itu adalah Jerman, yang di bawah kepemimpinan Bismarck mendadak muncul sebagai kekuatan utama di Eropa dengan cara memancing negeri-negeri sekitarnya terjun dalam kancah perang.
Sejak 1860-an, Jerman mengirim banyak konsultan ke Jepang. Termasuk Klemens Jacob Meckel, otak di balik modernisasi militer Jerman. Pada 1886, Jepang memperbaharui angkatan perangnya berdasarkan model Jerman beserta peralatan terbaru setara yang dimiliki pasukan Union pada Perang Sipil Amerika (1860-1865). Pada tahun-tahun itu juga kaum elit Jepang memperdebatkan kemungkinan mencaplok Korea, dengan alasan ingin memperadabkan masyarakatnya—dalih yang juga digunakan elit-elit Eropa saat menjajah Afrika.
Efek di Barat
Perang Rusia-Jepang merupakan perang besar pertama abad ke-20, dengan teknik yang kemudian digunakan pada konflik-konflik bersenjata setelahnya, termasuk Perang Dunia I. Penggunaan kawat berduri dan parit, bermula dari perang selama 19 bulan ini.
Sejumlah pengamat menilai Jepang sedang menjalankan war of attrition, yakni strategi konflik yang sejak awal dirancang supaya lawan menguras sumber daya ekonomi negaranya sendiri. Wacana war of attrition belakangan diangkat lagi ketika Michael Scheuer, analis CIA, dalam bukunya Imperial Hubris (2007), mengatakan bahwa aksi Al-Qaeda menyerang Amerika Serikat pada peristiwa 9/11 bertujuan untuk menyeret Paman Sam ke dalam perang berkepanjangan dan membangkrutkannya.
Namun, seperti dituturkan John Steinberg dalam The Russo-Japanese War in Global Perspective: World War Zero, Volume 2 (2005), anggaran Jepang untuk perang tersebut sebenarnya jauh lebih besar ketimbang Rusia (konsumsi harian warga Jepang bahkan dibatasi guna memenuhi logistik militer di lapangan). Namun demikian, dengan skema pinjaman jangka panjang dari Inggris dan Jerman, Jepang bisa memupuk cadangan amunisi untuk masa depan.
Sebaliknya, Rusia, dengan anggaran perang yang terbatas, justru mengalami krisis politik dalam negeri. Sebuah revolusi meletus pada Januari tahun itu, angkatan laut memberontak, buruh menggelar aksi pemogokan umum buruh di beberapa kota, dan bendera merah dikibarkan di Odessa, Ukraina. Revolusi ini merupakan gong pertama keruntuhan Tsar yang resmi runtuh dalam Revolusi Bolshevik pada 1917. Revolusi 1905 berhasil memaksa Tsar menerima berdirinya parlemen (Duma).
Di Barat, Togo Heihachiro jadi idola. Di Belanda dan Finlandia, ia jadi merek bir. Pemakaman Togo pada 1934 bahkan dihadiri oleh Chester W. Nimitz, panglima armada Pasifik AS dalam Perang Dunia II. Sebelum jadi diktator pada 1933, Hitler sudah memuji-muji Jepang dan ikut merundung Rusia, karena menurutnya Negeri Beruang Merah itu adalah bagian dari ras Slav barbar. Meriahnya reaksi orang kulit putih non-Rusia atas kemenangan Jepang perlu dilihat sebagai ekspresi Rusiafobia yang telah berkembang sejak era Perang Napoleonik (1803–1815) dan menghebat sepanjang Perang Dingin.
Kemenangan Jepang setidaknya setara dengan tiga peristiwa yang berampak besar secara regional. Revolusi Perancis bergaung ke seluruh Eropa dan memicu tumbuhnya gerakan-gerakan nasionalis sejak penyerangan penjara Bastille pada 1789. Unifikasi Italia oleh Garibaldi pada 1876 mengilhami masyarakat Eropa untuk membentuk negara yang bisa menaungi “bangsa” suatu entitas abstrak di saat sebagian orang orang lebih merasa sekampung atau sebahasa.
Peristiwa ketiga adalah buntut dari kekalahan Rusia pada 1905, yakni ketika kaum komunis berhasil merebut kekuasaan dan membubarkan monarki Tsar pada 1917. Kejadian yang terakhir ini kemudian memiliki efek yang lebih luas dan lama ke Eropa dan seluruh dunia, termasuk Hindia-Belanda. Wajah antikolonialisme pun lantas berubah, yang awalnya berkiblat ke Tokyo, kini menoleh ke Moskow, kemudian Peking.
EmoticonEmoticon